Daerah Surau Tombo Ati: Surau Kecil di Tepi Laut yang Syahdu

Surau Tombo Ati: Surau Kecil di Tepi Laut yang Syahdu

Surau Tombo Ati: Surau Kecil di Tepi Laut yang Syahdu

Kabar1lamongan.com – Sejenak perjalanan saya menelusuri pantai utara terhenti. Rasa lelah mulai terasa setelah menempuh jarak kurang lebih 30 km dengan sepeda motor berboncengan dari pusat kota Lamongan.

Tepat pukul 12 siang, saya memutuskan berhenti di Brondong untuk ngopi dan meluruskan punggung yang terasa kaku bagai dipasang besi cor. Berdasarkan petunjuk Google Maps, saya berhenti di bekas Terminal Brondong. Menurut warga sekitar, dulunya tempat ini ramai menjadi transit bus dan mobil angkutan umum jalur pantura. Kini suasananya jauh lebih sepi karena tidak lagi difungsikan sebagai titik transit. Meski begitu, kawasan ini tetap hidup berkat aktivitas usaha warga, seperti warung kopi, bengkel, studio, hingga kuliner.

Advertisement

Panasnya udara langsung menyambut saat tiba. Maklum, ini kawasan pesisir laut—panasnya mirip dengan Sidoarjo, kota tempat saya tinggal.

Istirahat dan menyeruput kopi adalah ritual setiap kali saya menyusuri tempat baru. Saat itu, mata saya tertuju pada sebuah bangunan kecil dengan papan bertuliskan Surau Tombo Ati. Surau, bagi umat Islam, adalah tempat kecil untuk melaksanakan salat, mirip mushola atau langgar.

Surau ini unik. Letaknya persis di tepi laut, dibangun dari kayu meranti berlapis plitur yang menghadirkan nuansa alami, mengingatkan saya pada rumah Mbah di desa. Berukuran sekitar 4 x 8 meter, surau bergaya panggung ini berdiri setinggi kurang lebih 50 cm, mampu menampung sekitar 50 jamaah. Di dalamnya terdapat lemari kaca untuk menyimpan mukena dan sarung bagi pengunjung, lengkap dengan kipas angin yang membuat udara di dalam terasa lebih sejuk dibandingkan teriknya luar ruangan.

Dari surau ini, pemandangan laut terhampar indah. Perahu-perahu kayu berwarna-warni milik warga menghiasi garis pandang, menambah pesona tepian pantai.

Nama Tombo Ati bukan hanya sekadar penanda bahwa ini tempat salat. Seperti disampaikan Heru Sucahyono, warga asli Brondong yang saya temui, surau ini juga menjadi “obat hati” bagi siapa saja yang sedang penat. Mas Heru bercerita, surau ini dibangun pada tahun 2019 dengan biaya swadaya warga, dibantu donatur setempat, dan rampung dalam waktu sekitar dua bulan.

Obrolan saya dengan Mas Heru semakin seru ketika dua rekannya turut menimpali cerita. Mereka mengatakan, surau ini selalu ramai, baik oleh warga sekitar, pengunjung yang singgah untuk beristirahat, maupun tokoh agama beserta santrinya yang datang untuk salat atau mengaji. Bahkan, pernah ada empat perempuan asal Riau yang sedang melakukan perjalanan dari Riau ke Jawa, singgah di sini untuk beribadah.

Namun, pandemi COVID-19 sempat membuat suasana surau sepi. Warga enggan keluar rumah sehingga kegiatan jamaah berkurang drastis. Setelah pandemi berakhir, geliat jamaah kembali hidup. Ramadan tahun ini, surau kembali dipenuhi jamaah—tak hanya untuk salat wajib dan tarawih, tetapi juga berbagi takjil dan mengadakan pengajian.

Surau ini berada di sisi pojok kiri bagian utara bekas Terminal Brondong, mudah terlihat ketika memasuki area tersebut. Siapa saja boleh singgah, beristirahat melepas lelah, atau sekadar menenangkan hati sambil menikmati semilir angin laut dan pemandangan perahu nelayan. (Red)

Advertisement