Jakarta,Kabar1Lamongan.com – Gerai Hukum Art & Rekan berpendapat bahwa,kita memahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan laporan dugaan tindak pidana.
Menurut Pasal 1 angka 24 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana.
Pada dasarnya, setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak mengajukan laporan atau pengaduan kepada penyelidik dan atau penyidik baik lisan maupun tertulis.
Laporan atau pengaduan yang diajukan secara tertulis harus ditandatangani oleh pelapor atau pengadu. Laporan atau pengaduan yang diajukan secara lisan harus dicatat oleh penyidik dan ditandatangani oleh pelapor atau pengadu dan penyidik.
Setelah menerima laporan atau pengaduan, penyelidik atau penyidik harus memberikan surat tanda penerimaan laporan atau pengaduan kepada yang bersangkutan.
Berdasarkan ketentuan tersebut, menurut hemat kami, surat laporan kepolisian yang maksud adalah surat tanda penerimaan laporan.
Perlu dipahami bahwa hukum Indonesia mengenal asas praduga bersalah, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman:
Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Asas praduga tak bersalah tersebut tentunya berlaku juga terhadap seorang terlapor yang namanya dicantumkan di surat tanda penerimaan laporan yang belum ditetapkan menjadi tersangka ataupun terdakwa, ia harus dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Pencemaran Nama Baik di Facebook.
Secara garis besar, mengenai pencemaran nama baik di Facebook diatur dalam Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”):
Setiap Orang dengan sengaja, dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Bagi yang melanggar, diancam pidana penjara maksimal 4 tahun dan/atau denda maksimal Rp750 juta.
Untuk dapat dijerat Pasal 27 ayat (3) UU ITE, terdapat pedoman yang dapat diperhatikan aparat penegak hukum sebagaimana diatur Lampiran Surat Keputusan Bersama Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 219, 154, dan KB/2/VI/2021 Tahun 2021 tentang Pedoman Impelementasi Atas Pasal Tertentu dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (hal. 9 – 14), di antaranya yaitu :
Muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak bisa dilepaskan dari Pasal 310 dan Pasal 311 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (“KUHP”).
Adapun Pasal 310 KUHP merupakan delik menyerangkan kehormatan seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal agar diketahui umum. Sedangkan Pasal 311 KUHP itu perbuatan menuduh seseorang yang tuduhannya diketahui tidak benar oleh pelaku.
Bukan delik pidana yang melanggar Pasal 27 ayat (3) UU ITE jika muatan yang ditransmisikan, didistribusikan, dan/atau dibuat dapat diaksesnya tersebut adalah berupa penghinaan yang kategorinya cacian, ejekan, dan/atau kata-kata tidak pantas. Terhadap perbuatan tersebut, dapat menggunakan kualifikasi delik penghinaan ringan sebagaimana diatur Pasal 315 KUHP.
Bukan delik yang berkaitan dengan Pasal 27 ayat (3) UU ITE jika muatan atau konten tersebut berupa penilaian, pendapat, hasil evaluasi, atau sebuah kenyataan. Dalam hal fakta yang dituduhkan merupakan perbuatan yang sedang dalam proses hukum, maka fakta tersebut harus dibuktikan terlebih dahulu kebenarannya sebelum aparat penegak hukum memproses pengaduan atas delik penghinaan dan/atau pencemaran nama baik UU ITE.
Pasal 27 ayat (3) UU ITE adalah delik aduan absolut, sehingga harus korban sendiri yang mengadukan kepada aparat penegak hukum, kecuali korban masih di bawah umur atau dalam perwalian.
Unsur “supaya diketahui umum” dapat dipersamakan dengan “agar diketahui publik”, yang dimaknai sebagai kumpulan orang banyak yang sebagian besar tidak saling mengenal, harus terpenuhi.
Kriteria “diketahui umum” bisa berupa unggahan pada akun sosial media dengan pengaturan bisa diakses publik, unggahan pada grup yang bersifat terbuka di mana siapapun dapat bergabung, serta lalu lintas isi/informasi tidak ada yang mengendalikan tanpa ada moderasi tertentu (open group).
Dari ulasan serta pedoman di atas, maka sebelum perbuatan si pengunggah dapat diproses hukum atas dasar pasal UU ITE di atas, harus dibuktikan terlebih dahulu kebenaran atas perbuatan yang dituduhkan. Maka dari itu, yang akan diperiksa terlebih dahulu.
Jika tuduhan tersebut tidak benar, maka selaku korban dapat mengadukan perbuatan si pengunggah/pelapor atas tindak pidana pencemaran nama baik sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE.
Namun perlu dicatat, jika konten yang diunggah tersebut hanya sebatas berisi informasi bahwa si pengunggah/pelapor telah melaporkan atas dugaan tindak pidana, maka menurut hemat kami perbuatan ini tidak bisa dijerat Pasal 27 ayat (3) UU ITE, karena konten yang diunggah berupa kenyataan.
Lain halnya jika konten tersebut mengandung penghinaan yang kategorinya cacian, ejekan, dan/atau kata-kata tidak pantas, maka si pengunggah/pelapor dapat dijerat atas penghinaan ringan sebagaimana diatur Pasal 315 KUHP. (Arthur)
Dasar Hukum:
Kitab Undang-undang Hukum Pidana;
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik;
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman;
Surat Keputusan Bersama Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 219, 154, dan KB/2/VI/2021 Tahun 2021 tentang Pedoman Impelementasi Atas Pasal Tertentu dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.










