Kabar1Lamongan.com – Team Investigasi Peduli Nusantara jakarta berpendapat bahwa, arus globalisasi selalu ditandai dengan memberikan dampak positif dan negatif terhadap kehidupan masyarakat kota sampai ke pelosok nagari.
Derasnya arus globalisasi ini tentunya mempunyai pengaruh terhadap adat dan budaya daerah.
Diantara dampak negatif globalisasi itu antara lain terjadinya pergeseran nilai-nilai, berupa seperti adanya kecendrungan melunturnya kekerabatan, renggangnya hubungan sosial sejalan dengan semakin berkurangnya pemahaman adat dan agama, merasa malu menjadi orang Minang serta tidak bangga lagi dengan adat dan budaya sendiri, tetapi senang dan punya percaya diri dengan budaya asing.
Kekhawatiran akan hilangnya nilai filosofi adat basandi syarak syarak basandi kitabullah ABS-SBK , akan semakin beralasan, dan bukan tidak mungkin adat akan tinggal slogan serta hanya tercatat dalam lembaran sejarah, bila kekhawatiran itu menjadi kenyatan, adalah sesuatu yang sulit untuk dibantah.
Dalam kondisi seperti inilah peran ninik mamak dan lembaga adat menjadi lebih penting untuk memberikan pelurusan dan pemahaman nilai – nilai adat dan budaya terutama terhadap generasi muda.
Bagi masyarakat Minangkabau, adat merupakan jalan hidup (way of live), cara berpikir dan bertindak.
Dari cara berpikir dan bertindak itulah lahirnya sebuah kebudayaan.
Adat eksis dan bermain dalam pikiran manusia Minang, bersifat abstrak tapi mempengaruhi segala tindakan.
Adat eksis dan bermain dalam pikiran manusia Minang, bersifat abstrak tapi mempengaruhi segala tindakan. Sedangkan budaya tampak dalam aktivitas kehidupan mereka. Rumah gadang, tanah pusako dan lainnya itu adalah budaya, produk dari adat. Sedangkan pengaturan pemakaian rumah gadang dan harta pusaka adalah adat.
Adat Minangkabau mempunyai basis ajarannya “alam takambang jadi guru”, yang artinya setiap individu Minang harus dapat memahami segala fenomena, gejala-gejala alam dengan segala hukumnya untuk dijadikan pedoman dalam hidup dan bermasyarakat.
Kerapatan adat nagari ,KAN sebagai lembaga terdepan dalam pemasyarakatan pengimplementasian ABS-SBK perlu mendapat perhatian dari berbagai pihak termasuk, pemerintah daerah, sehingga nilai ABS-SBK itu benar-benar terlaksana di masyarakat nagari.
Perlu kita sadari bahwa lembaga adat ini hingga sampai saat ini masih harus menghadapi persoalan dasar yang mesti dicarikan solusinya secara tepat.
Hasil temuan Investigasi kami di lapangan, paling tidak ada 5 hal
1.Kelembagaan. Hampir dapat dipastikan Kerapatan Adat Nagari lebih banyak yang tidak punya kantor sendiri dari pada memiliki gedung kantor, bahkan ada yang hanya sekedar “menumpangkan” plang nama pada Kantor Wali Nagari atau gedung kantor lainnya. 2.Sumber Daya Manusia (SDM) pengurusnya, kita harus menyadari bahwa organisasi adat lebih banyak hanya “dihuni” oleh orang-orang yang tidak dibekali ilmu perkantoran, manajemen dan organisasi. Kalaupun ada hanya bagi yang telah memasuki masa pensiun, sehingga organisasi KAN selama ini hanya dijalankan berdasarkan penguasaan administrasi secara manual dan tradisonal, belum lagi ketertingalan dalam mengenal dan mengoperasionalkan teknologi baru sebagaimana layaknya sebuah kantor seperti komputer, inetrnet dll.
3.Tugas pokok dan fungsi serta tupoksi, tidak adanya kejelasan dan penetapan tupoksi, mengakibatkan organisasi dijalankan berdasarkan pengalaman masa lalu, sehingga mempunyai penafsiran dan pengertian tupoksi tidak sama dan cenderung berjalan sendiri-sendiri.
Akibatnya, tidak jarang antar lembaga yang ada di nagari saling klaim tanah garapan tugas/kewenangan, akibat saling klaim itu terjadi benturan antar dan sesama pengurus lembaga. 4.Pendataan aset lembaga, hingga sampai saat ini persoalan aset menjadi semakin tidak jelas dan tidak pasti, apakah suatu aset yang ada dinagari menjadi aset KAN atau pemerintahan nagari, seperti Contoh : Pasar Nagari, sehingga tidak jarang karena ingin memperebutkan penguasaan pasar terjadi “basitegang” antara pengurus KAN dengan pemerintahan nagari walaupun kadang yang menjadi wali nagari juga seorang datuak.
5.Belum adanya regulasi KAN, walaupun keberadaan lembaga adat ini sudah diakui melalui perda Provinsi No.2 Tahun 2007 Tentang Pokok Pokok Pemerintahan Nagari (Bab I, Pasal 1 angka 12, 13), namun belum ada regulasi yang mengatur secara spesifik atau tersendiri menyangkut penata kelolaan organisasi kelembagaan adat baik berupa perbub ataupun perda, akibatnya kelembagaan KAN semakin sulit untuk diberdayakan.
kendala serta kendala ke 5 hal persoalan yang mendasar diatas tidak saja dialami oleh lembaga adat yang ada di nagari, tetapi juga sampai lembaga adat yang ada di tingkat Kabupaten/Kota. Sehingga akibatnya, penanaman nilai-nilai adat sekaligus penerapannya dilingkungan masyarakat nagari menjadi tidak optimal.
Hal ini tentu memberikan isyarat pada kita, bahwa persoalan ini perlu dirumuskan dan dicarikan solusinya oleh pemangku kebijakan, sehingga permasalahan tersebut tidak hanya sebatas dibicarakan tetapi harus ditindaklanjuti. (Arthur)