Hukum Perbuatan Melawan Hukum Didalam Hukum Perdata dan Hukum Pidana

Perbuatan Melawan Hukum Didalam Hukum Perdata dan Hukum Pidana

Jakarta  – Gerai Hukum Art & Rekan berpendapat bahwa, Perbuatan Melawan Hukum (onrechtmatige daad) dalam konteks perdata diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau Burgerlijk Wetboek (“BW”), dalam Buku III BW, pada bagian “Tentang perikatan-perikatan yang dilahirkan demi Undang-Undang”, yang berbunyi:
Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.
Menurut Rosa Agustina, dalam bukunya Perbuatan Melawan Hukum, terbitan Pasca Sarjana FH Universitas Indonesia (2003), hal. 117, dalam menentukan suatu perbuatan dapat dikualifisir sebagai melawan hukum, diperlukan 4 syarat:
1. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku
2. Bertentangan dengan hak subjektif orang lain
3. Bertentangan dengan kesusilaan
4. Bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian.
Mencermati perluasan dari unsur “melanggar hukum” dari Pasal 1365 BW tersebut di atas, dalam praktek, Pasal 1365 BW sering disebut sebagai pasal “keranjang sampah”. Namun menurut Rosa Agustina.
Sedangkan, dalam konteks hukum pidana, menurut pendapat dari Satochid Kartanegara, “melawan hukum” (Wederrechtelijk) dalam hukum pidana dibedakan menjadi :
1. Wederrechtelijk formil, yaitu apabila sesuatu perbuatan dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang.
2. Wederrechtelijk Materiil, yaitu sesuatu perbuatan “mungkin” wederrechtelijk, walaupun tidak dengan tegas dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang.
Melainkan juga asas-asas umum yang terdapat di dalam lapangan hukum (algemen beginsel).
Andi Hamzah dalam bukunya Pengantar Dalam Hukum Pidana Indonesia, hal. 168, berpendapat bahwa “melawan hukum” yang tercantum di dalam rumusan delik yang menjadi bagian inti delik sebagai “melawan hukum secara khusus” ( Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana/KUHP), sedangkan “melawan hukum” sebagai unsur yang tidak disebut dalam rumusan delik tetapi menjadi dasar untuk menjatuhkan pidana sebagai “melawan hukum secara umum” (contoh Pasal 351 KUHP).
Pendapat dari Schaffmeister ini benar-benar diterapkan dalam hukum positif di Indonesia, contohnya dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU Tipikor”).
Dalam Pasal 2 UU Tipikor terdapat unsur melawan hukum, sedangkan dalam Pasal 3 UU Tipikor tidak dicantumkan unsur “melawan hukum
Didalam penjelasan Pasal 2 UU Tipikor disebutkan:
Yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perudang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.
Mengenai perbedaan perbuatan “melawan hukum” dalam konteks Hukum Pidana dengan dalam konteks Hukum Perdata adalah lebih dititikberatkan pada perbedaan sifat Hukum Pidana yang bersifat publik dan Hukum Perdata yang bersifat privat.
Pendapat dari Munir Fuady dalam bukunya Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan Kontemporer, terbitan PT. Citra Aditya Bakti (Bandung: 2005), hal. 22, yang menyatakan:
Hanya saja yang membedakan antara perbuatan (melawan hukum) pidana dengan perbuatan melawan hukum (perdata) adalah bahwa sesuai dengan sifatnya sebagai hukum publik, maka dengan perbuatan pidana, ada kepentingan umum yang dilanggar disamping mungkin juga kepentingan individu, sedangkan dengan perbuatan melawan hukum perdata maka yang dilanggar hanya kepentingan pribadi saja. (Arthur)