Hukum Suburnya Mafia Tanah, Bedakan dengan Sengketa Tanah Biasa

Suburnya Mafia Tanah, Bedakan dengan Sengketa Tanah Biasa

Jakarta – Gerai Hukum Art & Rekan berpendapat bahwa,Sengketa tanah haruslah dibedakan dengan masalah mafia tanah, yang dapat dikualifikasi suatu kejahatan klasik yang terorganisir dan profesional. Dalam mafia tanah memiliki modus operandi, Salah satunya melalui pembuatan dokumen palsu atas bukti kepemilikan hak tanah yang bekerja sama dengan oknum yang mempunyai kewenangan dalam penerbitan bukti alas hak palsu, yang biasanya dilakukan secara rapi sehingga sulit untuk diungkap.

Saat ini masalah mafia tanah menjadi perhatian Presiden Jokowi . Selanjutnya direspons Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dengan kebijakan dalam pemberantasan mafia tanah. Ini merupakan bagian dari program Polri presisi atau pemolisian prediktif, responsibilitas dan transparansi berkeadilan. Bahwa apa yang telah dilakukan Polri dalam pengungkapan kasus baru-baru ini seperti (Pondok Indah, Kemang, Cilandak), merupakan tindakan penegakan hukum yang dapat dibenarkan.

Dengan demikian, siapapun juga yang terlibat juga harus dapat dimintai pertanggungjawaban pidana karena adanya penyertaan tindak pidana termasuk apabila adanya dugaan aktor intelektual sebagaimana Pasal 55 KUHP. Polri mempunyai landasan hukum untuk menindak secara tegas semua yang terlibat tindak pidana mafia tanah ini.

Tentunya didalam proses penegakan hukumnya harus mengedepankan prinsip presumption of innocence (asas praduga tidak bersalah). Mengingat Indonesia merupakan negara hukum sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.

Oleh karena itu persoalan sengketa tanah sangat berbeda dengan tindak pidana yang dilakukan oleh para mafia tanah , maka persoalan sengketa hak atas tanah yang merupakan ranah hukum perdata. Harus memberikan perlindungan hukum kepada pembeli yang beritikad baik ataupun pihak-pihak yang telah membebaskan tanah sesuai prosedur yang berlaku dalam rangka pengadaan tanah baik oleh pihak pemerintah maupun oleh pihak swasta.

Apabila terdapat sengketa hak atas tanah, yang telah diselesaikan melalui mekanisme di pengadilan, maka pihak yang memenangkan perkara tersebut tidak dapat disebut sebagai mafia tanah.

Stigmatisasi sebagai mafia tanah tanpa adanya suatu bukti dapat menimbulkan adanya pencemaran nama baik seseorang yang diberikan perlindungan hukum dalam negara hukum. Oleh karenanya seharusnya penyebutan keterlibatan seseorang itu haruslah dilakukan secara hati-hati dan tidak boleh menyebabkan menyerang kehormatan seseorang.

Mengenai sengketa tanah, yang masuk dalam lingkup hukum perdata atau administrasi negara bisa terjadi karena beberapa faktor :

A.faktor awamnya pelaku jual-beli lahan terhadap hukum (khususnya pertanahan) yang berlaku di Indonesia.

B.Sistem sertifikasi tanah yang ada di Indonesia hanya bersifat formalitas. Sehingga, sistem peradilan sengketa tanah yang menghabiskan biaya dan waktu yang cukup banyak. (Arthur)