Daerah Tolak Raperda RTRW, Demo Mahasiswa di Depan DPRD Berakhir Ricuh.

Tolak Raperda RTRW, Demo Mahasiswa di Depan DPRD Berakhir Ricuh.

demo lamongan Tolak Raperda RTRW

Lamongan, Kabar1Lamongan.com – Demo Mahasiswa yang semula di depan gedung pemkab, karena mendengar kabar bahwa bupati di gedung DPRD maka massa mahasiswa aksi longmarch ke gedung DPRD. Demo di Gedung DPRD Lamongan, Jalan Basuki Rahmat, Kamis (23/7/2020). Mahasiswa menggugat Raperda RTRW yang tidak sesuai dengan peta wilayah. Demo kali ini diwarnai dengan gesekan dan saling dorong antara mahasiswa dengan anggota dari Polres Lamongan yang mengamankan aksi di pintu gerbang Gedung DPRD.

Aksi main dorong itu dipicu saat para mahasiswa memaksa untuk masuk gedung DPRD, sementara petugas menghalau karena hanya perwakilan mahasiswa yang diijinkan masuk sesuai permintaan Ketua DPRD Lamongan, Abdul Ghofur.

demo lamongan Tolak Raperda RTRW

Saat situasi memanas karena oknum provokator yang melempar sandal ke arah anggota Polisi yang berjaga di gerbang gedung DPRD. Lemparan sebuah sandal berasal dari kerumunan Para mahasiswa, membuat geram Pihak Kepolisian. Rusuh mahasiswa dengan Anggota Kepolisian tidak dapat di hindari, aksi saling dorong keras pun terjadi. Massa mahasiswa pun didesak untuk keluar dari konsentrasi massa. Anggota kepolisian bergerak dengan menggunakan alat pelindung diri berupa tameng hingga membuat para mahasiswa kocar – kacir. Dan membuat beberapa Mahasiswa terjatuh, tersungkur, dan terluka.

Situasi kembali pulih setelah Kabag OPS, Kompol Slamet meminta anggota mundur melalui sound system kendaraan milik polres.

“Anggota kembali, mahasiswa itu saudara kita. Tolong anggota kembali, ” tandas Slamet, Kamis (23/7/2020).

Ketua DPRD Lamongan, Abdul Ghofur menemui pengunjuk rasa dan meminta ada perwakilan mahasiswa masuk ke ruangan untuk membahas apa yang menjadi tuntutan mahasiswa. Abdul Ghofur mengungkapkan, sejatinya Raperda RTRW ini masih dalam pembahasan.

“Kan belum diputuskan. Masak belum diputuskan saya disuruh membatalkan,” kata Ghofur.

Dikatakannya, industri harus diatur, kalau tidak di atur mereka akan liar. Namun pada Raperda RTRW itu belum diputuskan, baru sebatas dibahas.Ditolak atau tidak, kan dalam pembahasan di dalam nanti, ujar nya.

Para mahasiswa gabungan dari PMII, HMI, GMNI, IMM, Forum Nasional Mahasiswa Lamongan (Fornasmala) tetap pada pendiriannya menolak masuk karena yang diperbolehkan hanya perwakilan.

Mereka menuntut, menolak Raperda RTRW usulan eksekutif yang sebagian usulannya hasik copy paste pemerintahan Kabupaten Sukoharjo. Massa sesumbar hendak menggelar demo yang lebih besar lagi dengan tuntutan yang sama.

Sementara itu, Ketua HMI Lamongan mengungkapkan, “seperti halnya Raperda RTRW Lamongan yang memandang suatu wilayah hanya sebagai objek lahan yang diperuntukan untuk menggenjot Pendapatan Asli Daerah (PAD). Tapi tanpa memperhatikan zona ekonomi masyarakat menengah ke bawah dan ekologi,” Terang Yhongki Aprilda.

Menurut kajian nya dengan kawan kawan mahasiswa, pada dasarnya Rencana Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Lamongan yang akan menjadi landasan hukum pembangunan selama 20 tahun ke depan terkesan tergesa – gesa dalam penyusunannya.

Untuk menghindari dampak negatif yang akan ditimbulkan dan harus disetiap prosesnya memperhatikan mekanisme pembuatannya.

demo lamongan Tolak Raperda RTRW

Kebijakan spasial dan sektoral, masukan serta koreksi yang lebih detail dari para tokoh-tokoh masyarakat yang benar-benar mengetahui tentang potensi yang ada, supaya raperda RTRW ini bisa sesuai dengan kebutuhan Wilayah.

Selain itu, kata Syamsudin Ketua PMII Lamongan, “Raperda RTRW dalam Pasal 25 pada ayat B, dijelaskan Tempat pengelolaan dan Penimbunan Akhir Limbah B3 berada di Kecamatan Brondong, Kami jelas menolak, karena tidak memperhatikan tentang kondisi dan fisik wilayah, sosial kependudukan, ekonomi wilayah, lingkungan hidup, pengurangan resiko bencana dan juga penguasaan tanah,” tegasnya.

Ada beberapa poin pertimbangan dalam penolakan tersebut yakni pertama subtansi pembahasan raperda ini masih belum memuat 50% lebih satu dari isi perda no 15 tahun 2011, yang semestinya status raperda ini adalah perubahan dari perda kemaren.

Kedua, mengingat Undang-undang Nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan Raperda RTRW ini juga telah gagal dan cacat hukum, karena tidak menyertakan naskah akademik yang berfungsi sebagai acuan untuk mengetahui kedudukan dan proses pembentukan Raperda.

Ketiga, Raperda RTRW memuat data yang tidak valid seperti halnya yang terdapat pada BAB VII Tentang penetapan kawasan rawan banjir yang meliputi kecamatan Sukorame, Sugio, Babat, Pucuk, Sukodadi, Lamongan, Tikung, Sarirejo, Deket, Glagah, Karangbinangun, Turi, Kalitengah, Karanggeneng, Sekaran, Maduran, Laren dan Solokuro yang di mana kecamatan Sukorame dan Solokuro kalau dipandang dari sudut historis sama sekali tidak valid ketika dimasukan pada kawasan rawan banjir.

Kemudian dari kawasan- kawasan rawan bencana kekeringan yang juga tidak memasukan kawasan-kawasan yang memiliki historis berpotensi rawan bencana kekeringan.

Keempat, lanjutnya, data yang dimuat dalam lampiran Raperda RTRW tidak mencantumkan tahapan-tahapan dan target yang akan dicapai. Tentu hal ini akan memberikan dampak negatif terhadap pembangunan akibat ketidakjelasan data yang dimuat.

Lebih lanjut, kata Syamsudin, selain Raperda RTRW, Rencana Induk Pembangunan Industri (RIPI), di mana RIPI merupakan hasil turunan dari Raperda RTRW juga dinilai kurang teliti dalam penyusunanya yang dibuktikan dengan adanya data copy paste dan belum diedit dari data Kabupaten Sukoharjo.

“Yang paling tidak rasional adalah ketika naskah akademik yang kami terima tidak lebih hanya 30 lembar, kami anggap ini tidak serius,” ungkapnya.

Kemudian dari kawasan- kawasan rawan bencana kekeringan yang juga tidak memasukan kawasan-kawasan yang memiliki historis berpotensi rawan bencana kekeringan.

Keempat, lanjutnya, data yang dimuat dalam lampiran Raperda RTRW tidak mencantumkan tahapan-tahapan dan target yang akan dicapai. Tentu hal ini akan memberikan dampak negatif terhadap pembangunan akibat ketidakjelasan data yang dimuat.

Lebih lanjut, kata Syamsudin, selain Raperda RTRW, Rencana Induk Pembangunan Industri (RIPI), di mana RIPI merupakan hasil turunan dari Raperda RTRW juga dinilai kurang teliti dalam penyusunanya yang dibuktikan dengan adanya data copy paste dan belum diedit dari data Kabupaten Sukoharjo.

“Yang paling tidak rasional adalah ketika naskah akademik yang kami terima tidak lebih hanya 30 lembar, kami anggap ini tidak serius,” ungkapnya.

Mahasiswa menyayangkan sikap DPRD Kabupaten Lamongan masih menerima dan membahas Raperda RTRW 2020-2040 yang terbukti cacat hukum dan memuat data tidak valid.

Dan apabila dipaksakan untuk melanjutkan pemrosesan hanya akan menjadi petaka pembangunan bagi Kabupaten Lamongan selama 20 tahun ke depan.

“Cabut 3 Raperda yang bermasalah (RTRW, RIPI, RDTR BWP paciran). Jangan biarkan lahan produktif menyempit, gagalnya penataan wilayah daerah, jangan biarkan Lamongan jadi lumbung racun,” tandas Syamsudin. (Red)